Translate

Rabu, 28 Januari 2009

Perempuan-perempuan yang Menemuiku

Cerpen: R.F Dhonna

Seorang ibu termangu di sebuah bangku panjang, tepat di bawah pohon asam. Perempuan itu menanti putrinya pulang sekolah di bawah pohon yang ditanam di samping kanan gerbang sekolah dua puluh tahun yang lalu. Sembari menunggu, ia akan bercakap-cakap dengan beberapa orang pedagang kaki lima yang sudah lama dikenalnya akrab, yaitu sejak putrinya yang kini berusia lima belas tahun itu baru menjadi siswa sekolah ini. Karena itulah ia keasyikan, tak pernah bosan atau mengeluh, walaupun setiap hari harus antar-jemput putrinya sekolah. Tak hanya sekolah, tetapi juga aktivitas lain. Mulai kegiatan ekstrakurikuler, les renang, les modelling, dan kursus bahasa Inggris. Semua dilakukannya sendiri, tanpa sopir pribadi.
Aku juga termasuk salah seorang yang sering diajaknya bicara. Perempuan itu akan menemuiku di ujung trotoar bila merasa membutuhkanku. Ia akan segera  duduk bersila sepertiku, menatap lalu lalang kesibukan pengguna jalan di hadapan kami, lalu mulai berkisah tentang buah hatinya yang sangat ia banggakan.

 “Anak itu mendahului takdir, terlahir sebelum namanya tercatat sebagai penghuni baru di dunia. Aku yakin, karena terlahir sebelum waktunya, malaikat-malaikat di langit pun tak akan bersedia mengawasinya setiap detik. Putriku bukan tanggung jawab mereka. Karena itulah aku harus menjaganya sendiri…,” begitu alasan perempuan itu setiap kali kutanya mengapa ia selalu mengikuti putrinya kemana pun sang putri pergi. “Lagipula, lihatlah, dia tumbuh menjadi gadis yang sempurna. Ibu mana yang tak  khawatir? Bagaimana kalau anak gadisku yang rupawan itu menjadi incaran mata-mata lapar?” tambahnya penuh percaya diri.
Tak heran memang jika putrinya itu tampak menarik. Dahulu perempuan itu juga begitu. Sayangnya ia tak bisa mensyukuri karunia Tuhan itu dengan bijak. Ia begitu terlena, hingga suatu saat perempuan itu terperangkap rayuan seorang lelaki…
*  * *
“Aku tak mengerti, kenapa Ibu bersikap seperti itu padaku. Aku bukan anak kecil lagi!” adu putrinya kepadaku. Seperti ibunya, ia juga sering berbagi denganku. Hampir dipastikan, bekal sarapan paginya selalu ia berikan padaku. Sebenarnya dia bukan dermawan, ia hanya kurang menyukai menu yang dipilihkan sang Ibu. Gadis itu tak menyadari bahwa sikap ibunya itu karena sang Ibu sangat menyayangi dan memperhatikannya, demi kebaikannya sendiri.
 “Kata Ibu, aku tak boleh bergaul dengan teman laki-lakiku. Ibu akan selalu menasihatiku seperti ini: hati-hati, laki-laki bisa membuatmu terperosok ke jurang. Apalagi jaman sekarang. Jaman ibu masih muda, perempuan masih bergaul dengan sesama perempuan, dan itu tidak sembarangan. Bergaul dengan laki-laki sama saja melanggar tabu. Ah, Ibu, itu kan pergaulan jaman batu!” sungutnya kesal. Aku terus saja mendengar gerutuannya dengan sabar, meski kadang kurang sependapat. Anehnya, ia tak pernah mengungkapkan keberatannya itu kepada ibunya. Sang Ibu pun begitu, seolah tak peduli. Asal di matanya baik, ia tak perlu berusaha mengerti keinginan putrinya. Mata mereka seolah sama-sama tertutup.
* * *
            “Kau tahu, anak sekarang gemar coba-coba, cenderung berani, bahkan kepada orangtua sekali pun. Sepertinya putriku juga. Padahal selama ini aku sekolahkan dia di sekolah bermutu. Apa pola pendidikan sekolah itu yang salah?” Perempuan itu selalu begitu setiap kali sang putri melawannya, menyalahkan sekolah tempat putrinya menuntut ilmu, bahkan kadang mengambinghitamkan para guru di sana.
            “Tempo hari putriku membawa teman laki-lakinya ke rumah. Kukira teman anakku itu bukan manusia, tapi allien, seperti di film-film buatan Amerika. Tak tahu sopan santun pula. Tahu apa kata putriku? Dia menyebut temannya itu funky. Aku tak tahu apa benar itu namanya. Jika benar, sungguh nama yang aneh.” Cerita perempuan itu panjang lebar. Sesekali ia memuji dan membandingkan si Funky itu dengan pria yang pernah dicintainya setengah mati, meski kini pria itu pergi entah kemana. Meski telah menoreh luka, kebencian, juga dendam di hatinya. Kukira perempuan itu cemburu pada putrinya, karena lebih mencintai laki-laki yang baru dikenalnya ketimbang ibunya sendiri.
Perempuan itu rupanya sedang berusaha menghapus apapun tentang laki-laki di memorinya. Hampir semua pria tak dipercayainya lagi. Ia pun berusaha menanamkan itu kepada putri semata wayangnya itu.
* * *
”Apa benar para malaikat hanya mau menjaga manusia-manusia saleh? Menurutmu, orang-orang sepertiku layak menerima penjagaan mereka atau tidak?” tanya perempuan itu suatu hari. ”Jangan-jangan... orang-orang yang selama ini sering berbuat dosa memang tak pernah dijaga malaikat, hingga setan leluasa menggodanya?” tebaknya. Bagiku, semua itu tergantung keyakinan masing-masing. Jika seseorang yakin malaikat selalu menjaganya, mengawasinya, berada di dekatnya setiap saat, mengikutinya kemanapun ia melangkahkan kaki, dengan sendirinya ia akan terhindar dari bujukan iblis.
”Bagaimana kau ini?! Berarti selama ini kau menyangkaku tak punya keyakinan?” cecar perempuan itu tak puas. Keyakinan orang berbeda-beda, ada yang sedikit yakin, ada pula yang sangat yakin. Iblis mengkikuti keyakinan manusia, jawabku. ”Kau gila!” Akhirnya perempuan itu memakiku. ”Kau pikir kau bisa mendogmaku dengan ajaran-ajaranmu yang ngawur itu? Jangan berbicara lagi, pergi!” bentaknya.
            Aku gila? Apanya yang gila? Apa karena yang kukatakan ini tak bisa menyenangkan hatinya? Atau karena kata-kataku memang tak bisa masuk ke otaknya?
            Suatu hari perempuan  itu kembali menemuiku. Kali ini dengan tampang memohon.
”Katakan padaku, kenapa anakku terjerat narkoba dan terjebak pergaulan bebas? Anakku bunting oleh beberapa lelaki yang tak jelas, lebih parah dariku, padahal mataku tak pernah lepas darinya.” Aku terperanjat mendengar penuturannya. Nasib anaknya tak lebih baik dari nasib sang Ibu. ”Apakah ini salahku sendiri? Apa benar ini karma? Kau bilang di dunia ini tak ada karma, yang ada setiap perbuatan pasti mendapat balasan setimpal. Tapi kenapa seperti ini?” desaknya. Aku ingat, aku juga pernah mengatakan padanya, siapa menanam sesuatu, dialah yang akan menuai hasilnya. ”Kau bohong! Gila!” lanjutnya terus memakiku.
Perempuan itu terus mengoceh, menuturkan kepedihan hatinya, tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Tak apa, lagipula dia sudah menganggapku gila. Jadi apa pun yang aku sampaikan nanti pasti akan sia-sia.
”Kalau sudah seperti  ini, bersediakah malaikat menjaga kami, masih bersediakah Tuhan mengampuni kami?” perempuan itu bertanya lagi. Tuhan Maha Pengampun, jawabku dalam hati. Aku tetap tak mau bersuara, karena dia sudah menganggapku gila. Padahal sebenarnya aku memang gila, sama sepertinya. Kalau kami waras, tak mungkin kami tercatat sebagai penghuni rumah sakit jiwa.
*cerpen ini dimuat di harian Malang Post edisi Minggu 26 Februari 2006



19 komentar:

  1. Menarik mbak.

    Keep on writing yach :)

    BalasHapus
  2. mbak mmg penulis ya..?
    cerpennya bagus lho, malah tak terduga akhirnya.. ^_^

    BalasHapus
  3. trims. penulis bukan ya..? hehe, kayaknya semua yang pernah nulis (bukan mencatat lo..) pasti disebut penulis deh... mbak juga kan?

    BalasHapus
  4. hehehe, aku penulis bukan ya.. ?? *br di blog*
    tp tulisan mbak sdh pernah dimuat di majalah dan surat kabar... sdh dibilang penulis...

    BalasHapus
  5. aduh maaf, keypad-ku bermasalah...
    entah knp lgsg terkirim dan jd banyak.
    nnt aku main2 lg ya mbak... msh pingin baca2 dsni..

    BalasHapus
  6. hehehe, aku penulis bukan ya.. ??
    tp tulis

    BalasHapus
  7. meskipun baru di blog nulisnya, tetap saja pernah nulis (bukan mencatat) kan? ;)

    BalasHapus
  8. wahh
    mbak cerpenis ya^^
    wahh....saya juga suka menulis
    saya minta belajar bnyak dong dari bunda rayya....

    BalasHapus
  9. Mbak aq ada buat cerbung n ih di blog - ku minta saran-nya dong

    BalasHapus
  10. thx ya mbak^^
    Kalo leh tau mbak tinggal di smd juga'kan? tinggal dimana mbak?

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊