Translate

Senin, 19 Januari 2009

Ende dalam kenanganku (part.2)

Bibir orange karena buah pinang
Ada satu kebiasaan unik penduduk asli Ende yang mirip dengan kebiasaan orang Jawa jadul, jaman nenek-nenek kita dulu (sekarang mungkin masih ada, tapi kayaknya sudah mulai punah), yaitu mengunyah pinang. Kalau di Jawa setahuku mengunyah daun sirih yang dicampur buah pinang dan bahan lain. Tujuannya untuk merawat gigi, gusi, dan mulut. Seperti almarhumah nenek dulu.

Ketika ke pasar, di jalan-jalan, dimanapun, sering kujumpai laki-laki dan perempuan Ende yang sudah agak berumur bibirnya merah kekuningan kayak pakai lipstick setelah mengunyah pinang. Mungkin tujuannya sama seperti orang Jawa jadul ya, untuk kesehatan mulut dan kawan-kawannya itu.

Ikan-ikan…
Ketika di Ende, sebagai ibu rumah tangga biasa, sehari-hari kuhabiskan sebagian besar waktuku di rumah. Memasak, mencoba resep masakan baru, bersih-bersih, main ke tetangga, main ke teman, berputar seperti itu. Suamiku kerja lima hari, dari pukul delapan pagi sampai lima sore, praktis, kalau weekend atau hari libur lainnya betul-betul kami manfaatkan untuk refreshing buat menghilangkan stress akibat aktivitas yang monoton. Di Ende, jalan-jalan ke pasar ikan sudah bisa menghilangkan stres. Sembari memilih ikan, kita bisa melihat pantai dekat pasar ikan dengan segala kesibukannya. Kepuasan karena mendapat ikan segar yang murah, juga bisa menjadi obat stres yang manjur, hehe…


Waktu di Jawa, kami jarang bisa makan ikan segar. Di Ende, hampir setiap hari kami makan nasi ditemani lauk ikan segar yang diolah dengan bumbu bervariasi agar tidak bosan. Misalnya kemarin ikan goreng, besoknya dipepes, besoknya lagi di tim. Produksi ikan segar disini sangat berlimpah. Sayang, nggak ada ikan air tawar. Aku saja disini sulit sekali mencari ikan lele (suamiku doyan lele). Adanya lele laut yang rasanya berbeda dari lele tambak. Itupun musiman. Ada lagi yang sulit dicari: udang! Aku harus pesan di penjual ikan yang impor dari Kupang untuk membeli setengah kilo udang ukuran sedang seharga empat puluh ribu! Bukan main mahalnya…  eh, tapi bukan hanya udang saja sih yang mahal di Ende. Bahan makanan lain juga. Daging sapi setengah kilo pernah mencapai 50 ribu, ayam seekor (kecil atau besar) rata-rata 40 ribu, sayuran yang di Jawa seikat 500 bisa 2000 di Ende.

Karena sering makan ikan, pengetahuanku akan jenis ikan yang baru kujumpai semakin bertambah. Selain itu, karena seringnya penjual ikan lewat di depan rumah (hampir setiap lima menit sepanjang hari, ada tukang ikan lewat dengan teriakan yang khas dan kencang: ikan ikan…!!!!), aku jadi kenal sama ikan gembung, ikan parang, ikan Barbara, ikan raja, ikan ewe, dan sebagainya.

Kuatnya Persaudaraan Para Perantau.
Mendengar suamiku dimutasi ke Ende, awalnya aku takut, nggak mau ikut suami. Terbayang waktu itu, nanti kami disana sendirian, nggak ada teman dan saudara, penduduknya sangar-sangar, nanti melahirkan dimana (waktu dijemput suami, aku hamil Raya tiga bulan), dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Sebulan suamiku mempelajari situasi dan kondisi Ende. Setelah itu, barulah aku yakin mau ikut suami ke sana.
Begitu di Ende, ternyata banyak juga orang Jawa disana. Ada yang asli Jombang, Solo, Kediri, Blitar, Tulungagung, dll. (yang asli Lumajang nggak ada, nggak ada yang berani merantau ke Ende, haha..!). Rata-rata mereka sudah bertahun-tahun disini, sudah beranak pinak atau beranak cucu. keturunan Tionghoa, Orang Madura dan Sunda juga banyak. Masing-masing mereka ada yang punya perkumpulan daerah asal. Seperti orang Sunda, punya perkumpulan namanya Sahate (artinya kurang lebih: sehati), kegiatan rutinnya arisan keliling dari rumah ke rumah. Jadi bisa saling silaturahmi juga.
Sebagian besar, para perantau itu berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha. Dan rata-rata sukses, lalu mereka membawa serta saudara sekampung halaman. Begitu berhasil mandiri, mereka membawa lagi saudara sekampung halaman yang lain. Begitu seterusnya. Tak heran jika persaudaraan mereka sangat kuat.
Di lingkungan kerja suami, ada juga perkumpulan kecil-kecilan sesama keluarga pegawai dari Jawa. Untuk para suami dan bujangan, ada pengajian keliling sebulan sekali di malam minggu. Sedangkan untuk para istri, pengajian kelilingnya setiap sabtu sore. Karena kesibukan masing-masing, selain pada dua acara itu, kami jarang bisa berkumpul bersama.

Wisata Kota
Selama di Ende, aku dan suamiku menempati sebuah rumah di Jalan Kelimutu, di jantung kota, tepatnya di Gang—orang Ende menyebutnya lorong—Romeo (nama gang pasangannya—Juliet—kami cari nggak pernah ketemu2, hehe..). Karena tinggal di jantung kota, rasanya ya, nggak ‘merana-merana’ amat. Alhamdulillah masih ada fasilitas-fasilitas kota yang bisa dinikmati, seperti tempat-tempat hang out, perpustakaan daerah, pasar besar, warnet, dll. Tempat hang out yang paling diminati ya pantai. Ada banyak pantai yang bisa dikunjungi, tapi yang benar-benar dikomersilkan (kalau masuk kawasan pantai itu harus bayar karcis dulu), setahuku cuma satu, yaitu pantai Ende Ceria. Letaknya tidak jauh dari Taman Rendo dan Taman Ende Ceria. Dibanding pantai lain (seperti Bita Beach, atau pantai lain yang aman dikunjungi), pantai itu memang lebih dirawat, ada fasilitas tempat duduk berpayung, ada kafe dan taman, serta dilengkapi kafe dan taman kecil.

Kalau jalan-jalan ke pantai, kami sering pergi rame-rame dengan teman sekantor suami. Banyak hal yang bisa dilakukan di pantai. Biasanya sih, ngantar para suami main bola di tepi pantai, lalu para istri dan anak-anak ‘ngerumpi’ sambil piknik dengan bekal kecil-kecilan di kejauhan. Kami melakukannya di hari libur kerja. Setelah puas main bola, para suami berenang bersama. Pulang ke rumah dengan pakaian basah kuyup deh… seru!
Kami juga sering pergi berdua saja. Karena waktu itu belum ada anak (si Raya masih ngumpet di dalam perut), hal yang kami lakukan adalah…pacaran! Kami menikmati sunrise atau sunset lalu memburunya dengan kamera, menyusuri tepi pantai sembari mengumpulkan kerang-kerang cantik dan batu karang kecil yang antik, melihat perahu nelayan yang mengapung di tengah laut, atau bermain air di tepiannya.

Selain pantai dan taman, tempat wisata di jantung kota yang bisa dikunjungi buat refreshing yaitu museum bahari dan rumah pengasingan Soekarno. Di museum Bahari kita bisa melihat ratusan koleksi ‘rumah’ kerang, binatang-binatang laut yang diawetkan, terumbu karang, tulang ikan paus dan ikan-ikan lain, pokoknya yang berhubungan dengan kehidupan laut ada di sini. Tempatnya kecil sih, tapi koleksinya lumayan lengkap.
Di rumah pengasingan Soekarno, kita bisa melihat barang-barang peninggalan Bung Karno selama ‘dibuang’ Belanda ke Ende. Ada peralatan rumah tangga seperti setrika, piring makan, teko air; foto-foto dan lukisan, ranjang kuno yang tidak lain adalah tempat tidur Bung Karno dulu, lemari baju, pena dan buku-buku yang berisi tulisan Bung Karno, dsb. Rumah pengasingan presiden pertama RI itu sudah berumur lebih dari setengah abad, karena beliau diasingkan pada tahun 1934—1938. Meski demikian, rumah yang terletak di kelurahan Kotaratu itu masih terawat dengan baik. Sumur yang digali sendiri oleh Bung Karno juga masih terawat. Menurut penjaga rumah, bangunan rumah itu sebenarnya sudah mengalami beberapa kali renovasi. Tetapi tidak sampai mengubah aslinya.

Rumah ini dijadikan sebagai salah satu situs sejarah Bung Karno di Ende. Situs lainnya adalah pohon sukun yang terletak di samping lapangan PERSE Ende, tepatnya di kawasan taman Ende Ceria. Konon dulu setiap sore selepas solat Ashar atau di tengah malam sampai subuh, Bung Karno sering duduk merenung di bawah pohon itu sambil memandang pantai di hadapannya. Hasil renungannya adalah Pancasila yang menjadi dasar NKRI hingga kini. Sekeliling pohon sukun itu diberi pagar. Di sampingnya berdiri dengan kokoh patung Soekarno setinggi 3 meter (kurang lebih) yang dilapisi warna emas. Pohon sukun yang asli sebenarnya sudah tumbang pada tahun 1960-an. Lalu pemerintah setempat melakukan penanaman ulang sebanyak dua kali karena tanam ulang yang pertama mati. Hasil tanam ulang yang kedua—yang hidup hingga saat ini—tumbuh subur dan bercabang lima. Cabang tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai perwujudan lima sila Pancasila.
 
Tempat wisata di luar jantung kota Ende yang paling terkenal adalah danau tiga warna Kelimutu yang terletak di puncak gunung Kelimutu. Sebelum ke Ende, aku pernah mendengar nama danau ini. Aku berkunjung ke danau yang terletak di desa Woloara itu ketika kehamilanku berusia tujuh bulan. Rasa takjub menyergapku ketika akhirnya aku bisa menginjakkan kaki ke danau yang termasuk salah satu keajaiban dunia itu. Subhanallah… indah bukan buatan…!!!

Objek wisata lain  di sekitar Kelimutu diantaranya air terjun Kedebodu, belut sakti Wolotolo, kebun contoh Detu Bapa, air panas Ae Oka Detusoko, gua Maria Lourdes Detusoko, kampung adat Wologai, mumi kaki More Wolondopo, sawah bertingkat Waturaka, Perikonde, rumah adat dan tenun ikat Pemo, serta masih banyak lagi objek wisata menarik lainnya yang bisa dikunjungi jika Anda melancong ke Ende.

bersambung lagi...
notes: foto-foto tentang Ende lainnya bisa dilihat di album foto 'dari flickr' dan album foto 'Tempat-tempat berkesan (episode Ende)'

6 komentar:

  1. Assalamu Alaikum Mbak... Wah... Ntar kalo jalan2 ke Ende bisa nebeng di t4 Mbak neh...(maklum ga punya sodara di Ende, adanya cuma di Kupang...)

    BalasHapus
  2. jadi inget dulu waktu diassign di Aceh, andai bisa sekeluarga pindah kayak mbak...ga akan saya semerana kemarin..hehehe. Tapi Aceh juga cantik betul pantai-pantainya.....

    BalasHapus
  3. waalaikumsalam.. eh,mbak, sekarang aku dah gak di ende lagi... itu cerita dua tahun yang lalu... sekarang dah pindah samarinda....
    wah, punya sodara di kupang ya...

    BalasHapus
  4. bunda pernah di aceh? pengen juga kesana suatu saat, tapi ngeri kalo ingat ada GAM-nya. bunda aman-aman aja kah waktu di Aceh?

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊