Sembilan bulan tinggal di Ende, hanya sekali aku jalan-jalan dengan angkutan kota yang ada disana. Biasanya sih, kemana-mana naik motor. Waktu itu terpaksa, karena suami tidak bisa mengantar ke pasar murah hari Jumat di Wolowona. Rame-rame dengan para istri lainnya, aku ke Wolowona untuk berbelanja bahan makanan sehari-hari naik angkot Ende yang full music. Lagu daerah atau lagu masa kini diputar dengan kencang dan berdentum-dentum, seperti diperdengarkan pada orang tuli gitu. Bising bukan buatan. Lama-lama bisa bikin kepala pusing. Memang seperti itulah rata-rata angkot di kota ini, berlomba-lomba memutar musik dengan sound yang bisa membangkitkan mayat dalam kubur ;). Sudah begitu, sopirnya ngebut lagi. Mati-matian kami bertahan dalam suasana yang amat sangat crowded itu selama 15 menit. Kami kuat-kuatkan hingga sampai di komplek rumah dinas kantor suami. Begitu turun, hhh.. lega. Itulah, mengapa kami jadi kapok naik angkot.
Konon, kalau sebuah angkot melintas di depan anak-anak sekolah tanpa musik menghentak-hentak, angkot itu tidak akan dilirik (dilirik aja enggak, apalagi dinaiki). Bagi anak muda disana, seperti para pelajar itu, angkot yang nyetel musik heboh adalah angkot yang keren dan layak untuk dijadikan kendaraan pulang ke rumah. Mungkin itu salah satu alasannya, mengapa angkot di Ende musiknya kenceng-kenceng.
Salome
Masa kecil dulu (bahkan sampai sekarang ;)), aku punya makanan favorit yang terbuat dari tapioka yang dicampur bawang putih dan diisi sedikit daging atau lemak sapi di tengahnya, dibentuk bulat seperti bakso lalu direbus. Cara makannya dicampur saus dan kecap. Orang Lumajang menyebutnya pentol atau cilot, atau juga cilok. Kadang ada juga yang menyebutnya siomai. Jajanan rakyat. Nah, di Ende, aku bertemu Salome. Kupikir, Salome itu jenis makanan yang seperti apa, kok namanya keren banget. Suatu kali aku iseng memanggil abang penjual salome. Nyoba beli. Ternyata, salome tuh, sejenis cilok yang ada di kampungku. Walah…
Di Ende, Salome jadi makanan rakyat juga. Dijajakan di sekolah-sekolah atau tempat-tempat umum lainnya. Ada yang dijual 1000 dapat tiga biji, ada juga yang perbijinya 500 perak. Tapi makan jajanan ini kudu hati-hati loh,. Soalnya nggak jarang ditemukan penjual yang dengan sengaja menjual Salome dengan isi daging babi. Biasanya sih, kalau ditanya si abang akan bilang isi Salome jualannya dari daging apa.
Malaria itu biasa
Hutan-hutan di Ende umumnya masih terjaga dengan baik. Bukit-bukitnya pun nyaris tidak ada yang gundul. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan nyamuk—terutama yang jenis malaria—bisa berkembang biak dengan baik di sini. Orang terkena malaria bukan hal yang fantastis lagi. Saking lumrahnya, dianggap seperti kena demam biasa aja. Istilahnya, nggak perlu panik deh, menghadapi malaria. Tapi bagiku tetap saja, malaria adalah penyakit yang menakutkan. Kalau sudah terkena malaria kan nggak bisa sembuh total, sewaktu-waktu masih sering kambuh. Ngerinya lagi, dalam jangka panjang efek malaria bisa ke otak. Salah satu teman sekantor suami ada yang seperti itu. Sehari-hari dia ramah, baik sama orang. Tapi kalau lagi kambuh malarianya, dia berubah seperti orang nggak waras. Ngamuk-ngamuk nggak juntrung, semua dibanting kayak orang kerasukan jin. Alhamdulillah kami sekeluarga dilindungi dari penyakit ini.
Uniknya Bahasa Ende
lain daerah, lain pula bahasanya. Cukup lama di Ende, sedikit banyak membuatku mengerti bahasa Ende. Uniknya bahasa Ende, kalau diucapkan terdengar bernada, naik turun. Beberapa kata diucapkan dengan cara diambil satu suku kata terdepan. Misalnya su untuk mengucapkan kata sudah, dan sa untuk mengucapkan kata saja. Tak heran kalau orang Ende ngomong terdengar cepat.
Cukup banyak perbendaharaan kata baru yang berhasil kupelajari. Misalnya sonde untuk mengatakan tidak, sebentar untuk mengatakan nanti, ina untuk memanggil perempuan yang lebih tua (di Jawa sama dengan sebutan mbak), setiap pertanyaan diakhiri dengan partikel ko—misalnya su makan ko?— (dalam Bahasa Indonesia artinya kurang lebih sama dengan kata apakah) dll. Kalau teman-teman pernah menonton film Denias atau melihat iklan ‘aqua satu untuk sepuluh’ di tv (yang menceritakan keberhasilan pengadaan air bersih di NTT itu lo..), seperti itulah umumnya gaya bicara orang Indonesia Timur, termasuk Ende.
Kain Ende yang eksotik
Tak lengkap rasanya singgah di Ende tanpa membeli sesuatu yang khas dari daerah itu. Salah satu yang khas adalah kain Ende yang jenisnya tenun ikat. Kain ini handmade, bikinnya manual tanpa mesin, memakai pewarna alami, coraknya pun berlainan. Tak heran jika harganya sangat mahal. Kain yang berbentuk syal saja dijual antara 15—30 ribu, lalu yang seukuran taplak meja dijual antara 25—35 ribu. Kalau beli meteran, harganya disesuaikan dengan kualitas kain dan motifnya, berkisar antara 200—500 ribu per meternya. Kalau pinter nawar, pasti bisa dapat murah.
Mencuci kain ini nggak boleh sembarangan biar warnanya nggak cepat pudar. Cara mencuci kain ini nggak pakai detergen, tapi pakai sampo dan nggak boleh sering-sering dicuci (sebulan sekali lah nyucinya, hehe..).
Anakku Lahir di Ende
Satu peristiwa yang paling berkesan selama tinggal di Ende adalah ketika aku melahirkan si kecil Raya pada 17 Juli 2007 lalu. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, kelak aku akan melahirkan buah hatiku jauh di ‘negeri orang’, tanpa orangtua atau sanak kerabat, berjuang berdua hanya dengan suami. Semua saudara yang ada di kampung sangat mengkhawatirkanku, apalagi orangtua. Apakah aku bisa melalui momen ‘penting’ yang mempertaruhkan jiwa raga itu dengan lancar dan selamat. Semua mendoakanku. Dan doa merekalah yang membuatku kuat melewati masa-masa sulit selama proses persalinan yang cukup melelahkan itu.
Aku juga nggak akan lupa dengan kebaikan Mbak Tri, tetangga depan rumah yang membantu persalinan dan perawatan si kecil ketika baru lahir. Dia seorang bidan. Bagiku, Mbak Tri adalah teman, tetangga, kakak, sekaligus guru. Banyak pelajaran berharga yang kudapatkan darinya.
Selamat Tinggal Ende
Bulan Agustus 2007, suamiku dinyatakan lulus tes KPPN Prima. Di satu sisi, aku senang karena pasti akan dimutasi ke kota besar. Tapi disisi lain, aku juga kesal, kok pindah lagi? Padahal perabotan inti rumah (seperti tv, kulkas, kasur, kompor, magic jar, dkk) baru saja berhasil dilengkapi, eh harus dijual lagi, banting harga besar-besaran lagi. Ya, karena butuh buat ongkos pindahan nanti, terpkasa barang-barang yang tergolong masih baru itu kujual dengan harga miring dalam tempo cepat.
11 Oktober 2007
Kami sekeluarga mudik ke Jawa untuk berlebaran. Suamiku sekaligus mengantarku pulang kampung. Sejak hari itu, aku nggak kembali lagi ke Ende. Sebaliknya dengan suami, karena masih ada tugas kerja, dia masih balik lagi ke Ende. Dengan membawa si kecil yang masih bayi tiga bulan, aku terbang meninggalkan kota kecil dengan beribu kenangan indah itu. Selamat tinggal Ende yang damai…
* Januari 2008 keluar surat keputusan yang menyatakan bahwa suamiku ditempatkan di KPPN Samarinda. Februari 2008, boyongan ke Samarinda deh…;)
cerita endenya indah... gambarnya terasa aroma mistiknya sakral gitu he..he.. membayangkan proses kelahiran dari cerita mbak juga sakral..
BalasHapuslumajang ende samarinda rasanya saya kok dekat ya mbak..?
eh satu hal kelupaan...
BalasHapusmakasihnya invitenya
ya dekatlah.. kan satu negara, indonesia.. ;)
BalasHapuspanjang n lengkap ceritanya mbak..asyik banget..
BalasHapuskota penuh kenangan ya..berasa banget kl kita udah gak tinggal di situ lagi..
btw..aku demen ama salome juga ..hehe..;D
wah, bikin salome fans club yuk...;)
BalasHapus