Translate

Selasa, 27 Januari 2009

Seandainya Aku Bukan Ibumu




Cerpen: R.F.Dhonna
 
Hingar bingar pesta masih berlangsung di luar sana. Suaranya benar-benar memekakkan telingaku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku harus bersabar sampai beberapa hari lagi. Sungguh, jika Tuhan memberiku kekuatan, aku pasti akan segera keluar dari tempat ini! Dan, ugh, apa ini?! Lagi-lagi aku terpaksa meneguk bir hitam yang membuatku mual itu. Ya Tuhan, sampai kapan hidupku begini? Tak ibakah dia melihat penderitaanku selama ini? Jika di tempat ini saja hidupku seperti budak, dibawa pergi kesana kemari, ke tempat-tempat menjijikkan, dipaksa menelan berbutir-butir ekstasi tiap malam, lalu bagaimana nasibku di luar nanti? Bisa-bisa aku hanya jadi borok bagi manusia-manusia di sekitarku. Ah, mungkin untuk sementara waktu , aku memang harus bertahan di ruangan yang pengap dan sempit ini.
* * *
Kenapa aku masih di tempat ini? “Hey, keluarkan aku dari siniii..!!” teriakku sambil memukul-mukul dinding tebal yang mengelilingiku saat ini. Tapi percuma, secepat kilat suaraku memantul kembali. “Hey, keluarkan aku..!!” cobaku sekali lagi. Berulang-ulang kuteriakkan kata-kata itu. Akhirnya aku kalah. Tenagaku, pita suaraku, ah, kenapa tak ada yang mendengarku? Tulikah orang-orang di luar sana? Apakah mereka sengaja membiarkanku terperangkap dalam ruang tanpa cahaya ini?
“Habisi dia dengan cara apa pun!” sayup-sayup terdengar suara seorang laki-laki. Kutajamkan pendengaranku. Benarkah suara di luar sana mampu menembus pembatas setebal ini?
“Jahanam! Kau tak bisa memperlakukan aku seenakmu.” Kali ini yang kudengar suara wanita. Jahanam? Sepertinya aku sering mendengar kata itu.
“Sudah, telan ini! Beruntung kau mendapatkan ini tanpa susah payah!” mendengar kata-kata ini, rasa penasaran akan apa yang terjadi di luar sana segera menguasai benakku.
“Kau pikir, dengan barang haram ini, masalah kita bisa selesai?” sejenak, tak kudengar lagi suara mereka. Mungkin sama-sama sedang berpikir.
“Setidaknya kau bisa membebaskan dirimu dari masalah ini untuk sementara waktu,” tutur si laki-laki sendu.
“Kau gila! Meskipun orang lain menganggapku seperti sampah, tapi hidupku masih berarti, setidaknya untuk janin ini,” balas si wanita sambil mengelus perutnya yang membuncit. Aku merasakan sentuhannya…
“Terserah!” suara si laki-laki kembali meninggi, “tapi ingat, jangan sekali-kali datang lagi kepadaku. Camkan itu!”
“Bangsat!!!” maki si wanita. Sepertinya laki-laki itu telah pergi meninggalkannya.

* * *
Berhari-hari tak kudengar lagi suara pertengkaran seperti yang terjadi tempo hari. Rupanya, laki-laki itu telah benar-benar pergi. Kini, pil-pil laknat itu telah menjadi santapan harianku. Ia berusaha membunuhku. Dan benar, kian hari tubuhku kian melemah. Rasanya aku tak sanggup jika harus keluar dari tempat ini dengan keadaan remuk redam seperti ini.
* * *
Bayi kurus itu menggeliat, membangunkan tidurku. Aku tak percaya dia anakku, anak yang terlahir dari rahimku. Aku tak tega melihatnya. Bayi laki-laki itu harus menderita karena keegoisanku.  Seharusnya aku bahagia dengan kehadirannya. Apalagi kesempurnaan seorang wanita, selain bisa merasakan nikmatnya masa mengandung dan melahirkan?
Kuperhatikan raut wajahnya dengan seksama. Kubayangkan, seperti apa dia dua puluh tahun nanti. Oh, aku tak sanggup jika kelak yang ditemuinya hanya sebuah masa depan yang suram.
Seharusnya dia terlahir sempurna, rambutnya pekat, matanya bersinar, berdagu belah, bertubuh montok, jari-jarinya lengkap. Tapi karena kebodohanku, semua itu tak terjadi. Bahkan tiba-tiba dia tak tampak seperti bayi, tapi…, wajah itu… , oh…
“Aku ingin membunuhnya…!!! Aku ingin membunuhnya.. !!!” teriakku histeris, mengagetkan orang-orang yang sejak tadi menungguiku di luar kamar.
Mendengar itu, serta merta orang-orang itu menghambur ke dalam, menjauhkan bayi itu dariku.
“Lepaskan aku!” kurasakan orang-orang itu semakin kuat mencengkeram lenganku. Aku ingin merebut bayi itu dari mereka. Lihat, dia tersenyum licik ke arahku!
“Dia mengejekku, aku ingin membunuhnya, aku ingin membunuh laki-laki itu, kumohon…!” sekali lagi aku berteriak di sela isak tangisku. Kurasakan suaraku semakin melemah. Tenagaku serasa terkuras. Setiap detik, wajah laki-laki jahanam itu selalu menghantuiku.
* * *
Aku ingat, laki-laki itu pernah memberiku harapan, membangun istana impian di kepalaku, hingga aku tak sadar bahwa semua itu belum terwujud. Tapi aku terlanjur jatuh ke pelukannya. Perlahan dihapusnya bunga-bunga kebahagiaanku yang mulai mekar. Kuncup-kuncupnya pun turut meluruh seiring kepergiaannya setelah ia menanam benih di rahimku. Dia tak mau memetik buahnya bersamaku. Dia mencampakkanku seperti mengibaskan seekor lalat dari boroknya yang membusuk. Aku tak bisa menanggung beban ini sendirian. Aku juga tak mau bayi tak berdosa itu ikut menanggung akibat perbuatanku. Aku menyayanginya. Karena itu aku tak ingin dia bersamaku.
Aku tak ingin melihatnya. Dia terlalu suci untuk kubenci, terlalu naïf untuk dijadikan alibi, terlalu berharga untuk dicaci maki. Seandainya dia bukan anakku, akan kubiarkan ia bermain disini, di sampingku. Tapi ternyata dia anakku, dan aku ibunya. Padahal aku tak pernah mengharapkan dia jadi anakku. Inilah ajaibnya hidup. Kadang Tuhan malah memberi sesuatu yang tak pernah kita inginkan. Jika kubiarkan ia bermain disini, ia takkan bisa sebahagia di surga. Aku seorang ibu yang tak punya apa-apa, bahkan kehormatan. Bagaimana aku bisa membuatnya bahagia kelak? Biar dia hidup tenang di sisi Tuhan.
Kuraih sebilah pisau di sebelahku. Kubaca doa, kumohon ampunanNya. Ini bukan mauku.
Kini akan kuantar kepergian anakku ke surga. Lirih kukatakan, “Tuhan, kukembalikan dia kepadaMu….”
*Cerpen ini dimuat di harian Malang Pos edisi Minggu, 4 Juni 2006

12 komentar:

  1. terinspirasi dari kisah perempuan-perempuan yang dengan sengaja membunuh darah dagingnya sendiri dengan melakukan aborsi... :(

    BalasHapus
  2. wah kejam mbak nich..
    pelajaran bagi seorang ibu
    jika anaknya tidak mutu bunuh aja ya..?
    ih mbak...

    BalasHapus
  3. hehe.. bukan gitu. justru si ibu kasian kalo dibiarin hidup, soalnya ibunya gak mutu, hehe..

    BalasHapus
  4. sadis mana sama aborsi trus dimasukin wc? hehe, sama ya?

    BalasHapus
  5. T_T duh ngilu sekali ya ngebayanginnya...

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan komentar 😊