Cerpen: R.F.Dhonna
Hingar bingar pesta masih berlangsung di luar sana. Suaranya benar-benar memekakkan telingaku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku harus bersabar sampai beberapa hari lagi. Sungguh, jika Tuhan memberiku kekuatan, aku pasti akan segera keluar dari tempat ini! Dan, ugh, apa ini?! Lagi-lagi aku terpaksa meneguk bir hitam yang membuatku mual itu. Ya Tuhan, sampai kapan hidupku begini? Tak ibakah dia melihat penderitaanku selama ini? Jika di tempat ini saja hidupku seperti budak, dibawa pergi kesana kemari, ke tempat-tempat menjijikkan, dipaksa menelan berbutir-butir ekstasi tiap malam, lalu bagaimana nasibku di luar nanti? Bisa-bisa aku hanya jadi borok bagi manusia-manusia di sekitarku. Ah, mungkin untuk sementara waktu , aku memang harus bertahan di ruangan yang pengap dan sempit ini.
* * *
Kenapa aku masih di tempat ini? “Hey, keluarkan aku dari siniii..!!” teriakku sambil memukul-mukul dinding tebal yang mengelilingiku saat ini. Tapi percuma, secepat kilat suaraku memantul kembali. “Hey, keluarkan aku..!!” cobaku sekali lagi. Berulang-ulang kuteriakkan kata-kata itu. Akhirnya aku kalah. Tenagaku, pita suaraku, ah, kenapa tak ada yang mendengarku? Tulikah orang-orang di luar sana? Apakah mereka sengaja membiarkanku terperangkap dalam ruang tanpa cahaya ini?
“Habisi dia dengan cara apa pun!” sayup-sayup terdengar suara seorang laki-laki. Kutajamkan pendengaranku. Benarkah suara di luar sana mampu menembus pembatas setebal ini?
“Jahanam! Kau tak bisa memperlakukan aku seenakmu.” Kali ini yang kudengar suara wanita. Jahanam? Sepertinya aku sering mendengar kata itu.
“Sudah, telan ini! Beruntung kau mendapatkan ini tanpa susah payah!” mendengar kata-kata ini, rasa penasaran akan apa yang terjadi di luar sana segera menguasai benakku.
“Kau pikir, dengan barang haram ini, masalah kita bisa selesai?” sejenak, tak kudengar lagi suara mereka. Mungkin sama-sama sedang berpikir.
“Setidaknya kau bisa membebaskan dirimu dari masalah ini untuk sementara waktu,” tutur si laki-laki sendu.
“Kau gila! Meskipun orang lain menganggapku seperti sampah, tapi hidupku masih berarti, setidaknya untuk janin ini,” balas si wanita sambil mengelus perutnya yang membuncit. Aku merasakan sentuhannya…
“Terserah!” suara si laki-laki kembali meninggi, “tapi ingat, jangan sekali-kali datang lagi kepadaku. Camkan itu!”
“Bangsat!!!” maki si wanita. Sepertinya laki-laki itu telah pergi meninggalkannya.